Mercusuar

diorama
3 min readAug 15, 2023

--

Saat segala hal menghujam diri tanpa kata henti, aku butuh mendekat pada semesta, mencoba dengar apa yang dipendamnya sebab ia begitu tegar menjalankan amanat Tuhan; bertahun-tahun diterpa matahari, berteman dengan bulan dan tarikannya, dan ia tetap menyenangkan untuk dinikmati siapapun yang hampir-hampir kehilangan dirinya sendiri.

Sebelum menjemput kedamaian itu, suara-suara asin sedikit menusuk penciumanku. Ikan-ikan dijemur di depan beberapa rumah, menyambut setiap tekad pada yang ingin bertemu tanah airnya. Maka aku mengayuh pedal lebih cepat, mencoba tidak peduli pada bau menyengat itu.

Aku berhenti pada sebuah jalan penahan yang dibangun sengaja untuk menantang ombak, ia mengarah ke laut dan mercusuar ada pada ujungnya. Di baratnya ada matahari tengah berjalan pulang menuju persinggahan, dan cakrawala jingga merayakan kepergian itu bersama tiap pasang mata yang memandang.

“Menyenangkan ya di sini. Bahkan meski sendiri, kita merasa ditemani.”

Aku sudah cukup lama terhenyak pada aroma kedamaian yang laut suguhkan pada jiwaku, dan seseorang seperti sedang mengajak aku berbicara?

Berkali-kali aku ke sini sendiri dan selalu sendiri.

“Eh?”

Kau yang memanggil mengukir senyum kecilmu padaku. Dengan sepeda gunung yang kau parkir di sebelah aku dan sepedaku, kau seperti benar-benar bermaksud mencari teman berbincang.

“Ah, iya.”

Aku kembali memandang laut sembari memejamkan mata, kuharap bisa menyatukan jiwa dengan ketenangannya. Lalu menarik napas cukup panjang, kupersilakan segala yang menyesakkan berhembus bersama angin sore, dan hanya hal baik yang bergulir masuk ke dalam rongga dada.

“Selalu sendiri ke sini?” Rupa-rupanya dia masih menatapku, atau mungkin hanya kembali menatapku karena bosan.

Aku menaikkan kedua alisku sembari mengedikkan bahu. “Sendiri itu menyenangkan.”

“Kadang, bagiku sendiri itu menakutkan.” Kau menghela napasmu sejenak, memandangi mercusuar yang menantang cakrawala.

Aku mengernyit, mengantisipasi kalimatmu berikutnya.

“Coba lihat mercusuar itu. Dia tinggi, gagah menjulang, dan punya tanggung jawab besar mengarahkan petunjuk.”

“Dia berdiri sendiri, dan ombak di sekitarnya hanya sibuk menari-nari. Saat gelap menyergap bumi, cahaya hilang dari penglihatan, temannya hanya ombak yang entah semakin tenang atau kalap mengamuk. Apakah dia tidak pernah gentar sedikitpun?”

Kau memejamkan matamu sejenak riak, sedang aku tetap menunggu.

“Saat kesendirian dicumbui kegelapan, dan semua orang justru sedang bergantung pada keberadaanmu, tidakkah itu hal yang paling mengerikan?”

Aku mengangguk takjub.

“Siapa juga yang mendatangi laut pada malamnya jika tak ada apapun dapat dilihat?”

“Tidak ada yang menikmatinya saat gelap, sebagaimana kebanyakan orang justru pergi saat kelam merasuki hidup kita..” Aku bergumam pada permukaan laut yang naik turun menggulirkan bayangan mentari.

Kau terkekeh, saat itu, setelah racauanmu yang tiba-tiba soal mercusuar, kau tertawa kecil sebab ucapanku. Kau bilang aku seseorang yang juga unik sepertimu, sama-sama berlari sendiri menuju laut demi kembali dengan segenap kedamaian. Kau tidak mengejek kesendirianku karena kau pun paham mengapa aku melakukannya, dan mengapa kita sama-sama melakukannya.

Kau lalu memandangi mercusuar itu penuh tenggelam dalam pikirmu. Adakah yang kau ketahui lagi tentangnya?

“Dia menerangi yang lain, tapi tidak pada dirinya.”

“Maka jangan jadi mercusuar.” Kau bangkit dari dimensi khayalmu dan menoleh pada kalimatku.

“Kita perlu memintanya pada Tuhan, jadilah cahaya bagi dirimu sendiri bahkan saat gelap maupun terang. Setelah itu, ia dengan sendirinya akan terpancar dari jiwamu bagi siapapun yang melihat dengan baik.”

Kali ini bukan terkekeh, kau justru menimpalinya dengan tersenyum lebar padaku.

Apakah kau menyukai jawabanku?

Kau mengganggu ritualku, tapi hei, sore ini menyenangkan.

Sampai bertemu lagi, kau yang benar-benar bercahaya.

--

--

diorama
diorama

No responses yet